Senin, 20 Juni 2011

Gadai (Rahn)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sistem “Rahn” merupakan salah satu alternatif bagi masyarakat untuk memperoleh dana guna kepentingan aktifitas kehidupan sehari-hari. Uang memegang peranan penting sebagai alat tukar menukar juga sebagai alat ukuran nilai. Demikian juga barang dan jasa yang dihasilkan dinilai dengan satuan uang. Uang dalam pandangan Islam bukan barang yang dapat diperjualbelikan. Prinsip agama Islam tidak membolehkan untuk mengambil keuntungan dari pinjam-meminjam uang. Oleh karena itu “Rahn” atau istilah populernya dikenal dengan “sistem gadai” adalah salah satu instrumen dalam sistem perekonomian masyarakat Islam guna memenuhi kebutuhan perolehan dana untuk melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Diharapkan dengan sistem rahn ini dapat memberikan kontribusinya dalam rangka pemberdayaan umat terutama dalam hal kegiatan yang sifatnya produktif.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan landasan hukum dari gadai syari’ah?
2.      Bagaimana syarat dan rukun dari gadai syariah?
3.      Bagaimana akad dan mekanisme operasional dari gadai syari’ah?

C.    Tujuan
  1. Untuk mengetahui dan memahami tentang pengertian dan ladasan hukum dari gadai syari’ah.
  2. Untuk mengetahui dan memahami syarat dan rukun dari gadai syariah.
  3. Untuk mengetahui akad dan mekanisme operasional dari gadai syari’ah.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
  1. Pengertian gadai menurut umum
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.
b. Pengertian gadai menurut syari’at Islam
Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan tau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap”,”berlangsung”dan “menahan”. maka dari segi bahasa rahn bisa diartikan sebagai menahan sesuatu dengan tetap.
Sedangkan menurut istilah rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.

B.     Landasan Hukum Gadai Syari’ah
Syari’at IslamYang menjadi landasan bahwa diperbolehkannya gadai dalam syari’at islam adalah termaktum dalam Al-qur’an surat al-Baqarah ayat 283. Selain itu implementasi yang dicontohkan oleh Rasulullah ada pada hadist yang diriwayatkan oleh Al Bukhari:“Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku.” Rasulullah kemudian menjawab menjawab:” bohong ! Sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya.” Kedua sumber hukum syari’at islam di atas diperkuat lagi dengan ijma’ para ulama yang telah bersepakat bahwa itu boleh, dan para ulama tidak pernah ada yang mempertentangkan kebolehannya berikut landasan hukumnya.
Adapun mengenai Prinsip rahn (gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.

C.    Rukun Gadai Syari’ah
Dalam menjalankan pegadaian syari’ah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syari’ah. Rukun gadai tersebut antara lain:[1]
1)      Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
2)      Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang.
3)      Al-Marhun/ rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan uang.
4)      Al-Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
5)      Sighat, Ijab dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

D.    Syarat Gadai Syari’ah
1)      Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan rahn, harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan
2)      Sighat
Shigat tidak boleh terkait dengan masa yang akan datang dan syarat tertentu. Misalnya, jika masa waktu utang telah habis dan belum terbayar, maka rahn dapat diperpanjang selama 1 bulan. Jika syarat yang dimaksud justru mendukung berjalannya akad, maka diperbolehkan. Misalnya pihak penerima gadai meminta agar proses akad diikuti 2 orang saksi.
3)      Marhun bih
1.      Wajib dikembalikan kepada murtahin (yang menerima gadai)
2.      Dapat dimanfaatkan
3.      Jumlahnya dapat dihitung
4)      Marhun
1.      Harus berupa barang / harta yang nilainya seimbang dengan utang serta dapat dijual
2.      Dapat dimanfaatkan serta memiliki nilai
3.      Harus spesifik dan jelas
4.      Dimiliki oleh orang yang menggadaikan secara syah
5.      Tidak tersebar dalam beberapa tempat dan dalam kondisi utuh Utang (marhun bih)[2]

E.     Akad Perjanjian Gadai
Dalam transaksi gadai terdapat 4 akad untuk mempermudah mekanisme perjanjiannya, 3 akad tersebut adalah :
1)      Qard al-Hasan Akad ini digunakan nasabah untuk tujuan konsumtif. Oleh karena itu nasabah (rahin) akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadaian (marhun) kepada pegadaian (murtahin) Ketentuannya : - Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, elektronik, dll. - Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.
2)      Mudharabah Akad ini diberikan bagi nasabah yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuannya :
a)      Barang gadai dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti : emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, bangunan, dll.
b)      Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.
3)      Ba’i Muqayyadah Akad ini diberikan bagi nasabah untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor, modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual-beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin. Barang gadai adalah barang yang dapat dimanfaatkan oleh rahin maupun murtahin.[3]


F.     Perbedaan Teknis Antara Gadai Syariah dan Gadai Konvensional
a)      Pegadaian Syariah
ü  Biaya administrasi berdasarkan barang
ü  1 hari dihitung 5 hari
ü  Jasa simpanan berdasarkan simpanan      
ü  Bila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan akan dijual kepada masyarakat
ü  Uang pinjaman 90 persen dari taksiran
ü  Penggolongan nasabah D-K-M-I-L
ü  Jasa simpanan dihitung dengan konstanta x taksiran
ü  Maksimal jangka waktu 3 bulan
ü  Kelebihan uang hasil dari penjualan barang tidak diambil oleh nasabah, diserahkan kepada Lembaga ZIS
b)      Pegadaian Konvensional
ü  Biaya administrasi berupa prosentase yang didasarkan pada golongan barang
ü  1 hari dihitung 15 hari
ü  Sewa modal berdasaarkan uang pinjaman
ü  Bila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan dilelang kepada masyarakat
ü  Uang pinjaman untuk golongan A 92%, sedangkan untuk golongan BCD 88-86%
ü  Penggolongan nasabah P-N-I-D-L
ü  Sewa modal dihitung dengan prosentase x uang pinjaman
ü  Maksimal jangka waktu 4 bulan
ü  Kelebihan uang hasil lelang tidak diambil oleh nasabah, tetapi menjadi milik pegadaian.[4]

G.    Mekanisme Operasional Pegadaian Syari’ah
Teknis pelaksanaan kegiatan pegadaian syariah adalah sebagai berikut :
1)      Jenis barang yang digadaikan
a)      Perhiasan : emas, perak, intan, mutiara dan sejenisnya
b)      Alat-alat rumah tangga, dapur, makan-minum, kebun, dan sejenisnya
c)      Kendaraan seperti : sepeda ontel, motor, mobil dan sebagainya
2)      Biaya-biaya
a)      Biaya adminstrasi pinjamanUntuk transaksi pinjaman ditetapkan sebesar Rp 50,- untuk setiap kelipatan pinjaman Rp 5.000,-. Biaya ini hanya dikenakan 1 kali di awal akad.
b)      Jasa simpanan Besarnya tarif ditentukan oleh :
a.       Nilai taksiran barang
b.      Jangka waktu ditetapkan 90 hari dengan
c.       Perhitungan simpanan setiap kelipatan 5 hari. Berlaku pembulatan ke atas (1 – 4 hari dianggap 5 hari).
c)      Ketentuan barang :
a)      Perhiasan; Biayanya sebesar Rp 90,- per 10 hari. Total biaya dilakukan pembulatan Rp 100 terdekat (0 – 50 dianggap 0; > 51 – 100 dibulatkan Rp100,-)
b)      Barang elektronik, alat rumah tangga; Biayanya sebesar Rp 95,- per 10 hari.
c)      Kendaraan bermotor; Biayanya sebesar Rp 100,- per 10 hari.
3)      Sistem cicilan atau perpanjangan
Nasabah (rahin) dapat melakukan cicilan dengan jangka waktu 4 bulan. Jika belum dapat melunasi dalam waktu tersebut, maka rahin dapat mengajukan permohonan serta menyelesaikan biayanya. Lamanya waktu perpanjangan adalah + 4 bulan. Jika nasabah masih belum dapat mengembalikan pinjamannya, maka marhun tidak dapat diambil.
4)      Proses pelelangan barang gadai
Pelelangan baru dapat dilakukan jika nasabah (rahin) tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Teknisnya harus ada pemberitahuan 5 hari sebelum tanggal penjualan.
Ketentuan :
a)      Untuk marhun berupa emas ditetapkan margin sebesar 2% untuk pembeli.
b)      Pihak pegadaian melakukan pelelangan terbatas
c)      Biaya penjualan sebesar 1% dari hasil penjualan, biaya pinjaman 4 bulan, sisanya dikembalikan ke nasabah (rahin)
d)     Sisa kelebihan yang tidak diambil selama 1 tahun akan diserahkan ke baitul maal.

BAB III
KESIMPULAN

Gadai Syari’ah merupakan salah satu intrumen jasa keuangan dalam sistem perekonomian Islam yang bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dana melalui prinsip-prinsip syari’ah;
Prinsip Rahn adalah tolong menolong, oleh karena itu tidak diperbolehkan mengambil kelebihan (bunga) dari uang yang dipinjamkan. Sistem rahn harus bersih dari unsur-unsur riba;
Bunga Pinjaman dalam prinsip Syari’ah diharamlan, tetapi dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional murtahin diperkenankan untuk mengambil biaya/ongkos yang nyata-nyata diperlukan tanpa ada unsur untuk mengambil untung yang berlebihan;
Konsep proses bisnis Pegadaian Syari’ah adalah dalam mengambil keuntungan dari transaksi rahn, uang pinjaman yang diserahkan kepada nasabah tidak dikenakan bunga, tetapi dari barang yang diterima, si pemberi gadai boleh mengambil upah, yang disebut upah simpan.

Daftar Pustaka

Antonio, M.Syafi’i, Bank Syari’ah, Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah deskripsi dan ilustrasi, EKONISIA, Yogyakarta, 2003


[1] Antonio, M.Syafi’i, Bank Syari’ah, Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999. hal.215
[2] Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, EKONISIA, Yogyakarta, 2003. hal.160-161
[3] http://serrum.org/buntetpesantren/2009/03/06/pegadaian-syariah-dan-kewenangan-peradilan-agama/
[4] http://ekonomisyariah.site40.net/

0 komentar:

Posting Komentar