Jumat, 10 Juni 2011

Ijma'

IJMA’

A.    Pengertian Ijma’
Menurut ilmu bahasa, ijma’ artinya mngumpulkan. Menurut ilmu fiqih ijma’ artinya kesatuan pendapat dari ahli-ahli hukum (ulma-ulama fiqh) islam dalam satu masalah dalam satu massa dan wilayah tertentu (territorial tertentu) serta tidak boleh bertenangan dengan alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.1

Lafal al ijma’ menurut bahasa arab berarti tekad, seperti dalam firman Allah SWT

* ã@ø?$#ur öNÍköŽn=tã r't6tR ?yqçR øŒÎ) tA$s% ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ÉQöqs)»tƒ bÎ) tb%x. uŽã9x. /ä3øn=tæ ÍG$s)¨B ÎŽÏ.õs?ur ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# n?yèsù «!$# àMù=ž2uqs? (#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur ¢OèO Ÿw ô`ä3tƒ öNä.áøBr& ö/ä3øn=tæ Zp£Jäî ¢OèO (#þqàÒø%$# ¥n<Î) Ÿwur ÈbrãÏàZè? ÇÐÊÈ

Artinya :Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah Aku bertawakal, Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. (QS. Yunus: 71)

Kesepakatan para mujtahid disebut ijma’, karena kesepakatan mereka ats suatu hukum adalah kebulatan tekad mereka atas hal itu.[2] 
Menurut istilah ijma’ ialah kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah, maka seseorang yang berarti kaum itu telah sepakat (sepndapat) tentang yang demikian itu.

B.     Dasar Hukum Ijma’
Dasar hukum ijma’ berupa al-quran, al-hadist, dan akal pikiran
1)      Al-Quran
Di dalam al-quran memerinthka kepada orang-orang mukmi n untuk taat kapada Allah dan taat kepada Rasulnya, Dia juga memerintahkan untuk taat kepada ulil amri, seperti dalam firmannya :

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB

Artinya: hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT, dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.

Lafal amri artinya hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Sebagian ahli tafsir, terutama Ibn Abbas, menafsiri kata ulil amri itu dengan ulama, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsirinya dengan pemimpin dan penguasa. Bila ulil amri telah sepakat dalam penetapan hukumsyara’, yakni para mujtahid, maka awajib diikuti dan dilaksanakan berdasarkan nash Al-quran. Sebagaimana firman Allah SWT.

öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqߧ9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB ÇÑÌÈ

Artinya: dan kalau mereka menyarahkannya kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengtahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).
Allah juga mengancam orang-orang yang menentang Rasul dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, dengan firmannya QS. Annisa’: 115
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ

Dalam ayat ini Allah SWT menjadikan orang yang menentang jalan orang-orang mukmin sebagai kawan orang-orang yang menentang Rasul.

2)      Al-Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta. Ada beberapa hadist dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersamaan) dari kesalhan, antara lain:
لا تجْمع أمّتى على خطاء
Artinya: umatku tidak akan berkumpul( &sepakat) untuk melakukan kesalahan.
لم يكن الله ليجمع أمّتى على الضلالة
 Artinya: Tidak mungkin Allah mengumpulkan ummatku melakukan kesesatan.
ماراء المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
 Artinya: Apa yang dipandang baik oleh kaum muslim, maka baik menurut Allah SWT.

3)      Akal Pikiran
Ijma’ atas suatu hukum syara’ hendaklah dilakukan dan di bina atas asas-asas pokok ajaran islam karena itu setiap mujtahid berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran islam, batas-batas itulah di tetapkan dalam berijtihad serta hokum-hukum yang telah ditetapkan.
Bila berijtihad secara mujtahid atas suatu hokum terhadap satu kejadian adalah seandainya yang digunakan sandaran adalah dalil dugaan, niscaya menurut kebiasaan tidak mungkin memunculkan suatu kesepakatan. Karena hal yang bersifat dugaan pasti menimbulkan perbedaan pemahaman.
Sebagaimana ijma’dapat digunakan untuk menetapkan suatu hokum terhadap suatu peritiwa, ia juga dapat digunakan memberikan ta’wil atas taafsir suatu nash, alas an hkum nash adalah penjelasan hal-hal yang berkenaan dengan nash yang telah dilakuan tidak akan jauh menyimpang adalah menyalahi al-quran dan al hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil itu.[3]

C.    Rukun Ijma
Wahbah al-zahuili menyatakan bahwa ijma itu bias dikatakan sah apbila memenuhi lima rukun dibawah ini, yaitu:
  1. kesepakatan itu harus diambil oleh keseluruhan ulama’ mujtahid.
  2. ijma’ itu harus dilakukan oleh para ulama’ secara berkelompok.
  3. tidak boleh terjadi ijma’ murakkab, yakni perpecahan pendapat yang membentuk kelompok-kelompok kecil, sehingga terdapat dua atau tiga pendapat dengan dua atau tiga kelompok ulama’
  4. semua ulama harus menyatakan pendapatnya secara jelas, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
  5. para ulama itu harus dapat melahirkan keputusan hokum pada saat mereka melakukan pembahasan.
Ijma’ dengan criteria-kriterianya yang ideal ini pernah terjadi pada masa sahabat, yakni periode pemerintahan Abu Bakar dan Umar dan Khulafa al-rasyidin.[4]
Disamping itu, menurut wahbah, mereka jga beragumentasi dalam surah al-nisa yang berbunyi:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB

Artinya: hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT, dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.

Maka menafsirkan kata-kata ulil amri pada ayat ini dengan dua konotasi, yaitu sebagai penguasa politik dan penguasa hokum, penguasa politik pemerintaha, sedang penguasa hokum para mujtahid adalah ulama fiqh.
Selain dengan ayat-ayat diatas, maka juga beragumentasi dan hadits nabi Saw yang berbunyi:

عن أنس ابن ماك رضى الله عنه قال : قال رسو ل الله صل الله عليه وسلم: لا تجمع امتى على ضلا لة (ز رواه ه ابن ما جة)
Al-ghazali berpendapat bahwa alas an ini lebih kuat, karena secara eksplisit menyatakan tentang ijma’ beserta tingkat kebenarannya. Dengan demikian, menurutnya, kalau para ulama telah menetapkan suatu keputusan hokum menurutnya, kalau para ulama telah menetapkan suatu keputusan hokum menurutnya, kalau para ulama telah menetapkan suatu keputusan hokum menurutnya, kalau para ulama telah menetapkan suatu keputusan hokum secara kolektif, niscaya keputusanya itu benar dan terpelihara dari kesalahan.

D.    Tentang Terjadi Ijma’
Menurut pendapat nazham dan sebagian pengikut ialah, mustahil akan adanya kesepakatan para ulama dalam menetapkan hokum suatu masalah disebabkan oleh jauh letak tempat kediaman antar amereka dan tidak mungkin mereka akan mengadakan suatu musyawarah pada suatu masalah yang sedang terjadi.
Menurut syafi’i, hambalidan hanafi tidak mustahil terjadinya ijma’jika terdapat dalam kitab dan sunnah.[5] Orang yang melihat kenyataan pada masalah hokum yang telah diputuskan oleh para sahabat kemudian hokum itu dianggap sebagai ijma’ akan mengetahui bahwa ijma itu tidak dalam pengertian seperti diatas, tetapi kesepakatan dari ilmuan pada waktu itu asas hokum mengenai peristiwa yang diajukan. Kesepakatan itu pada dasarnya adalah hokum yang dihasilkan dari musyawarah orang banyak, bukan pendapt perorangan.
Demikian juga yang dilakukan Umar ini yang oleh ulama fiqih desebut ijma’ yang pada hakekatnya adalah pembentukan hokum oleh jamaah, bukan satu orang.
Maka penetapan hokum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah, kadang ada kesamaan dan kadang ada pertentangan. Maksimal yang dapat dikatakan seoang ahli fiqih” hokum tentang peristiwa ini tidak di ketahui ada yang menentangnya.[6]
Diketahui dengan mudah, seperti dengan mengajarkan kepada murid-muridnya adalah kepada orang yang dibawanya serta mengajarkan kepda generasi sesudahnya.[7]
Apabila mungkin masing-masing mujtahid di dunia islam pada saat terjadinya suatu peristiwa itu diketahui, maka mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dalam perstiwa itu dengan cara yang menyakinkan adalah mendekati. Karene mereka tersebar diberbagai benua di Negara yang saling berjauhan, berbeda kebangsaan dan ras, maka tidak dapat mengumpulkan mereka dan mengambil dari mereka dengan metode yang valid. Padahal syarat keabsahan ijma adalah keputusan sepakat dari mujtahid seluruhnya dalam satu waktu, satu hokum terhadap satu peristiwa.
Diantara alasan yang memperkuat bahwa ijma’ tidak mungkin diadakan adalah bila ijma’ itu diadakan, maka harus disandarkan pada dalil, dalil yang dipakai sandaran itu pasti, menurut kebisasaan pasti diketahui, karena bagi umat islam tidak sullit mengetahui dalil syara’ yang pasti sehingga butuh untuk merujuk para mujtahid dan kesepakatan mereka. Dan jika dalil itu dugaan, menurut kebiasaan, tidak mungkin akan terwujud suatu kesepakatan, karena dalil dugaan pasti menimbulkan banyak pertentangan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat diadakan, menurut kebiasaan. Mereka berkata, “apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijma itu adalah pasti karena meragukan masalah yang terjadi”  mereka menyebutkan beberap contoh kalimat-kalimat yang telah ditetapkan sebagai hasil ijma’ seperti pengakuan Abu Bakarsebagai khalifah, keharaman minyak babi,cucu laki-laki dari anak laki-laki. Tidak mendapat bagian waris karena ada anak laki-laki dan diantara hokum rinci dan hokum global lainya.[8]
Menurut pendapat Nazham dan sebagian pengikut syi’ah menerima akan adanya ijma’ dan mengetahuinya, tetapi tidak mungkin dipindahkan diantara para ulama yang banyak itu, lagipula para ulaam itu mempunyai perbedaan tingkatan ilmu pengetahuian. Oleh sebab itu tidak mungkin dipindahkan dari seorang kepada ulama banyak.
Dan menurut pendapat ahmad bin hambah tidak mungkin ijma’ itu dipindahkan dan tidak pula adanya sendiri ijma’ diantara ulama, siapa yang mendakwakaan adanya ijma’ maka dia termasuk orang yang pendusta kecuali ijma’ sahabat, karena mereka termasuk ulama yang sedikit justru itu mudah diketahui dan di pindahkan ijma’ mereka.[9]


E.     Kedudukan Ijma’
Mungkin adanya ijma’ dan mungkin pula diketahui serta mungkin dipindahkan, tetapi tidak mungkin ijma’ itu dijadikan hujjah (alas an) dalam menetapkan hokum, karena yang menjadi alas an adalah kitab-kitab dan sunnah adalah ijma yang didasarkan kepada kitab-kitab sunnah, justru itu mereka katakan:
الإجماع ليس من الأدلّة المسنقلّة
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bias berdiri sendiri”

Firman Allah SWT surat an-Nisa’ ayat 58
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
58.  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hokum kepada al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud kembali kepada Rasulnya yaitu berdasarkan kepada sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.[10]
Mungkin adanya ijma’ dan mungkin pula diketahui serta mungkin di pindahkan, tetapi tidak mungkin ijma’ itu di jadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hokum, karena yang menjadi alasan adalah kitah dan sunnah adalah ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah, justru itu mereka katakana :

الا اجعا م ليس من ا الأ د لة المستقلة

“ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bias sendiri”.
Firman Allah surat an-Nisa’
فان تنزعتم في سي فردوه الى الله والرسول

 “jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan RasulNya”.
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hokum kepada al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada rasulNya yaitu berdasarkan kepada sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.[11] 

F.     Macam-macam Ijma’
Dilihat kepada bentuknya ijma’ dapat dibedakan menjadi 2 bagian :
  1. Ijma’ Qath’iy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka.[12]
Ijma’ ini dilakukan dengan ijtihad, yaitu berfikir sungguh-sungguh dengan mempergunakan intelektual adalah akal memepelajari sumber hokum Islam yang asli (murni) yaitu al-Qur’an dan Hadits Rasul kemudian mengalirkan garis hokum baru dari padaNya. Misal : ijma’ wajib mengerjakan puasa bulan ramadhan.[13]
  1. Ijma’ Sukutis, yaitu : suatu pendapat dari seorang ahli hokum adalah beberapa ahli hokum, tetapi ahli-ahli hokum lainnya tidak membantah. Misal : semasa hidup Nabi, Nabi melakukan shalat terawih sebanyak 8 rakaat, di zaman Umar bin Khattab ra, 20 rakaat tidak ada sahabat yang membantah. Dengan ini shalat terawih diterima dengan ijma’ sukuti.
Ulama’ keluarga Hanafi berpendapat bahwa ijma’ sukuti adalah ijma’ jika mujtahid yang diam itu telah diajukan kepadanya kejadian yang di maksud sudah ditunjukkan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid. Sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam. Karena diamnya seorang mujtahid dalam kedudukannya sebagai pemberi fatwa, penjelas, dan pembentuk hokum syara’ dalam waktu yang cukup untuk membahas dan mempelajari, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapatnya meskipun bertentangan adalah bukti kesepakatannya dengan pendapat yang telah ditemukan (oleh mujtahid yang lain). Sebab, jika pendapatnya bertentangan, tidak mungkin dia hanya diam.






1.       Modh. Idris Ramulyo, S. H. MH, Asas-asas hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal: 74
2.       Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Isul Fiqh kaidah hukum Islam, PT Pustaka Amani, Jakarta, 2003, hal: 54
[3] Ibid hal :56-59
[4] Drs. Dede Rosyada, M.A, Hukum Islam dan Pranata Social, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal: 40-41
[5] Al-Qazwaini Sunan Ibnu Majah, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi, Jilid II, hal 1303
[6] Drs. H. Nazar Bakrus, Fiqih dan Usul Fiqih, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hal: 52
[7] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah, PT Pustaka Amani, Jakarta 2003, hal: 61-62
[8] Drs. H. Nazar Bakry, Fiqih. PT Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993 hal: 52-53
[9] Prof. dr. abdul wahab khallaf, “ilmu ushul fiqh kaidah hokum islam”, PT Pustaka Amani, Jakarta, 2003, hal 59-60
[10] Ibid., hal. 53-54
[11]. Ibid, hal 53-54
[12]. Ibid, hal : 51
[13]. Mohammad, Idris Ramukso, SH, M.H, Asas-asas Hukum Islam, Sinar Grafindo, Jakarta, 1995, hal : 74

0 komentar:

Posting Komentar