Selasa, 21 Juni 2011

Makalah Study Hadits


BAB I
PENDAHULUAN


           Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus".
           Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadits beliau.

           Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits, misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para sahabat tersebut.
            Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
          Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar
1.      Pengertian Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
1)    Al Jadid Minal Asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2)    Qorib (yang dekat)
3)    Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.[1]
Ada juga yang berpendapat ahadits  bukanlah jamak dari hadits, melainkan merupakan isim jamaknya.[2]
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang  sepertinya jika mereka orang yang benar”  (QS. At Thur; 24).

1
 
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.[3]
2.      Pengertian Sunah
Sunah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau tidak. Jamaknya adalah sunan.
Sunah menurut istilah Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.[4]
Sunah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi-selain al Qur’an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
Suah menurut istilah Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad saw, yang bukan  fardlu ataupun wajib.[5]

3.      Pengertian khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadits marfu’, maukuf, dan maktu’ bisa dikatakan sebagai khabar. Dan menurutnya khabar murodif  dengan hadits.[6]
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.[7]
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
1.      Kata khabar sinonim dengan hadits;
2.      Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
3.      Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits.

4.      Pengertian Atsar       
Secara etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.

B.     Pengertian al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi
1)                  Pengertian al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan pengertian al-Quran dari segi etimologi.
Muhammad Ali Daud dalam kitab Ulum al-Quran wa al-Hadits, menyebutkan enam pendapat berkenaan pengertian al-Quran dari segi etimologi ini, yaitu:[8]
1.      Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Quran merupakan nama yang independent, tidak diderivasi dari kosakata apapun. Ia merupakan nama yang khusus digunakan untuk firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
2.      Menurut Imam al-Fara’ kata al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qarain, bentuk jama’ (plural) dari qarinah yang mempunyai arti indikator. Menurutnya, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena sebagian ayatnya menyerupai sebagian ayat yang lain, sehingga seakan-akan ia menjadi indikator bagi sebagian ayat yang lain tersebut.
3.      Imam al-Asy’ari dan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa kata al-Quran diderivasi dari masdar (abstract noun, kata benda abstrak) qiran yang mempunyai arti bersamaan atau beriringan. Menurut mereka, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena surat, ayat, dan huruf yang ada di dalamnya saling beriringan.
4.      Imam al-Zajaj berpendapat bahwa kata al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qur-u yang mempunyai arti kumpulan. Menurut al-Raghib, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dinamakan dengan al-Quran karena ia mengumpulkan intisari beberapa kitab yang diturunkan sebelum al-Quran.
5.      Sebagian ulama mutaakhirin tidak sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa al-Quran bersumber dari fi’il (verb, kata kerja) qaraa yang mempunyai arti mengumpulkan dengan dalil firman Allah:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
 “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (Q. S al-Qiyamah: 17).

Menurut mereka, kata kerja qaraa mempunyai arti memperlihatkan atau memperjelas. Dengan demikian, orang yang sedang membaca al-Quran berarti ia sedang memperlihatkan dan mengeluarkan al-Quran.
6.      Menurut al-Lihyani kata al-Quran diderivasi dari fi’il qaraa yang mempunyai arti membaca. Oleh karena itu, kata al-Quran merupakan masdar yang sinonim dengan kata qiraah. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat.
Adapun definisi al-Quran secara terminologi adalah Firman Allah yang berbahasa Arab, dapat melemahkan musuh, diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis di dalam mushaf, dan ditranformasikan secara tawattur serta membacanya termasuk ibadah.
Contoh wahyu al-Quran adalah:
قل هو الله احد الله الصمد لم يلد ولم يولد إلخ .سورة الاخلاص

2.      Pengertian Hadits Qudsi
Secara etimologi Hadits Qudsi merupakan nisbah kepada kata Quds yang mempunyai arti bersih atau suci. Sedangkan secara terminologis, pengertian hadits qudsi terdapat dua versi. Yang pertama hadits qudsi merupakan kalam Allah SWT (baik dalam sturiktur maupun substansi bahasanya), dan Nabi hanya sebagai penyampai Yang kedua hadits qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi dari perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering memakai قال الله تعالى. [9]
Contoh hadits Qudsi adalah
عن النبي قال, قال الله تعالى ثلاثه انا خصمهم يوم القيامه… الخ.رواه ابو هريرة

3.      Pengertian Hadits Nabawi
Adapun menurut istilah, pengertian hadis nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Contoh hadist nabawi yang berupa perkataan (qauli) misalnya perkataan Nabi SAW,[10]
انما الاعمال بالنية.......... . اخرجه البجخارى فى صحيحه
           Contoh hadist berupa perbuatan (fi'li) ialah 
كان النبي اذا اراد ان ينام وهو جنب غسل فرجه وتوضأ للصلاة. حديث عائشة
     Contoh hadist berupa ketetapan (taqriri) ialah 
 
ان خالته اهدت الى رسول الله سمنا واضبا واقطا فاكل من السمن والاقط واكل على مائدته
, ولو كان حراما مااكل على مائدة رسول الله. حدبث ابن عباس
             
Contoh hadist berupa sifat (wasfi) ialah 
كان رسول الله ربعة ليس بالطويل ولابالقصر حسن الجسم... الخ . حديث انس ابن مالك

Perbedaan Al-Qur’an, Hadits Qutsi dan Hadits Nabawi
Setelah kita mengetahui masing-masing dari definisi al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi, maka ada baiknya kita juga membahas tentang perbedaan ketiga hal tersebut. Perbedaan antara al-Quran dengan Hadits Qudsi:
a)      Al-Quran mampu mengungguli sastra Arab yang waktu itu merupakan sastra yang terbaik, sehingga orang Arab tidak mampu membuat karya sastra yang seindah dan sebaik al-Quran, walaupun hanya satu surat. Tidak demikan halnya dengan Hadits Qudsi.[11]
b)      Lafadz dan arti al-Quran berasal dari Allah. Sedangkan Hadits Qudsi, artinya berasal dari Allah, akan tetapi lafadznya dari Nabi Muhammad.
c)      Tidak boleh meriwayatkan al-Quran secara makna. Adapun Hadits Qudsi, boleh meriwayatkannya secara makna.
d)      Al-Quran tidak boleh dipegang oleh orang yang mempunyai hadats. Al-Quran juga tidak boleh dibaca oleh orang yang mempunyai hadats besar. Dua larangan ini tidak berlaku di dalam Hadits Qudsi.
e)      Al-Quran harus dibaca di dalam shalat. Sedangkan Hadits Qudsi, apabila dibaca di dalam shalat maka dapat menyebabkan shalat menjadi batal.
f)        Al-Quran ditransformasikan secara tawattur. Oleh karena itu, ia berstatus qath’i al-tsubut. Adapun mayoritas Hadits Qudsi ditransformasikan secara ahad (individual), sehingga ia berstatus dhanni al-Tsubut.
g)      Orang yang mengingkari al-Quran terkategorikan sebagai orang kafir, karena al-Quran bersifat qath’i al-Tsubut. Sedangkan orang yang mengingkari Hadits Qudsi tidak dianggap orang kafir, karena Hadits Qudsi bersifat dhanni al-Tsubut.
h)      Membaca al-Quran termasuk ibadah. Satu huruf al-Quran sebanding dengan 10 kebaikan. Hal ini tidak berlaku pada Hadits Qudsi.
i)        Di dalam al-Quran terdapat penamaan ayat dan surat untuk kalimat-kalimatnya. Tidak demikian dengan Hadits Qudsi.
j)        Pebedaan antara Hadits Nabawi dengan Hadits Qudsi antara lain:
k)      Hadits Nabawi dinisbahkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad. Adapun Hadits Qudsi dinisbahkan kepada Allah. Nabi Muhammad hanya berstatus sebagai penyambung lidah dari-Nya.
l)        Bentuk Hadits Nabawi ada dua macam: 1. Tauqifi, yaitu hadits yang kandungannya diterima oleh Nabi Muhammad melalui wahyu, kemudian beliau sampaikan kepada umatnya. 2. Taufiqi, yaitu hadits yang tercipta murni dari pemahaman Nabi Muhammad terhadap al-Quran, atau dari perenungan dan ijtihad beliau. Adapun keseluruhan kandungan Hadits Qudsi bersumber dari Allah.




Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 1999. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, (Oman: Dar al-Bashir, t.th).
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Bulan Bintang, Jakarta,
1992.
Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif.
Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu.


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 1999. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hal 1
[2] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, (Oman: Dar al-Bashir, t.th), hlm 9-10.
[3] Muhammad Ujaj al Khotib, Ushul al HaditsUlumuhu wa Mushtholahuhu, Bairut; Libanon. 1992. hal. 26
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar,…….hal. 4
[5] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, hlm 10.
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar,…….hal. 6
[7] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, hlm 12
[8] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, (Oman: Dar al-Bashir, t.th), hlm 15
[9] Muhammad Ali Daud, Ulum al-Quran wa al-Hadits, (Oman: Dar al-Bashir, t.th), hlm 16
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 1999. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hal. 6
[11] Al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 53

0 komentar:

Posting Komentar