Jumat, 03 Juni 2011

Asas Legalitas Hukum Pidana Islam

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah Al-Israa’ (17) ayat 15, Alqur’an Surah Al-An’am (6) ayat 19, hal itu di ungkapkan sebagai berikut:
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
15.  Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.

ö@è% r& >äóÓx« çŽt9ø.r& Zoy»pky­ ( È@è% ª!$# ( 7Íky­ ÓÍ_øŠt/ öNä3oY÷t/ur 4 zÓÇrré&ur ¥n<Î) #x»yd ãb#uäöà)ø9$# Nä.uÉRT{ ¾ÏmÎ/ .`tBur x÷n=t/ 4 öNä3§Yάr& tbrßpkôtFs9 žcr& yìtB «!$# ºpygÏ9#uä 3t÷zé& 4 @è% Hw ßpkô­r& 4 ö@è% $yJ¯RÎ) uqèd ×m»s9Î) ÓÏnºur ÓÍ_¯RÎ)ur Öäü̍t/ $®ÿÊeE tbqä.ÎŽô³è@ ÇÊÒÈ
19.  Katakanlah: "Siapakah yang lebih Kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". dia menjadi saksi antara Aku dan kamu. dan Al Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".[1]
 Kedua ayat ini berasaskan bahwa Alqur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, supaya menjadi peringatan (dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu.[2]
Asas legalitas merupakan unsur formal dari jarimah. Jadi segala perbuatan tidak dianggap jarimah apabila tidak ada nash yang yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman.

B.     Kaidah dan Sumber Asas Legalitas
Salah satu kaidah yang penting dalam syariat islam adalah

لاَ حُكْمَ لأُفْعَالِ الْعُقَلاَءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النَصِّى
“Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”.[3]

Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa perbuatan seseorang tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan dia mempunyai kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan itu sehingga ada nash yang melarangnya.
Pengertian dari kaidah di atas identik dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

الاصل في الاشياء الاباحة حتى يقوم الدليل على تحريمه
“Pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukkan keharamannya” [4]

Oleh karena itu, perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja melainkan harus dinyatakan dengan hukumannya maka kesimpulan yang dapat diambil dari semua kaidah tersebut adalah bahwa menurut syari’at islam tidak ada jarimah dan tidak ada hhukuman kecuali dengan adanya nash.
Disamping kaidah-kaidah tersebut masih ada kaidah lain yang berbunyi:

لاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ من كان قادرا على فهم دليل التكليف أهلا لما كلف به. ولاَ يُكَلِّفُ شَرْعا إلاّ بفعل ممكن مقدور للمكلف معلوم له علما يحمله على امتثاله.
“Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (Taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.[5]

Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan. Adapun syarat untuk para mukallaf ada dua macam:
1.      Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi
2.      Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan diberi hukuman.
Sedangkan untuk syarat perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam :
1.      Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2.      Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf.
3.      Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.
Sumber dari asas legalitas yang didasarkan pada kaidah diatas adalah:
1.      Surah Al-Israa’ ayat 15
 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
“Dan kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul”.

2.      Surah Al-Qashash ayat 59
$tBur tb%x. y7/u y7Î=ôgãB 3tà)ø9$# 4Ó®Lym y]yèö7tƒ þÎû $ygÏiBé& Zwqßu (#qè=÷Gtƒ öNÎgøŠn=tæ $uZÏF»tƒ#uä
Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka”

3.      Surah Al-Baqarah ayat 286
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

4.      Surah Al-Anfaal ayat 38
@è% z`ƒÏ%©#Ïj9 (#ÿrãxÿŸ2 bÎ) (#qßgtG^tƒ öxÿøóムOßgs9 $¨B ôs% y#n=y
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”

Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa asas legalitas sudah terdapat syari’at Islam, sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

C.     Penerapan Asas Legalitas
Asas legalitas diterapkan oleh syara’ pada semua jarimah dengan cara yang berbeda, baik pada jarimah hudud, qishash maupun ta’zir.
1.      Dalam Jarimah Hudud dan Qishash
Secara tegas dan jelas syara’ telah menyatakan dalam nash tentang hukuman jarimah ini. Untuk jarimah zina terdapat dalam:
Al-qur’an surah Al-Israa’ ayat 32
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

Al-qur’an surah An-Nuur ayat 2
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Untuk jarimah qazdaf nash tentang hukumannya terdapat dalam surah An-Nuur ayat 4
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
“ Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.

.

Untuk jarimah qishash diat yang meliputi tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan, ketentuannya tercantum dalam beberapa ayat Al-qur’an.
Untuk tindak pidana pembunuhan larangannya tercantum dalam surat Al-Israa’ ayat 33.
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur Ÿ@ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß Ÿxsù ̍ó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan ini berbeda-beda sesuai dengan jenis pembunuhannya. Untuk pembunuhan sengaja hukumannya tercantum dalam:
Surah Al-Baqarah ayat 178
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedi].”

Surah Al-Maaidah ayat 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
“ Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
Untuk pembunuhan karena kesalahan, hukumannya tercantum dalam:
Alqur’an Surah An-Nisaa’ ayat 92
$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£¢Átƒ 4 bÎ*sù šc%x. `ÏB BQöqs% 5irßtã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ㍃̍óstGsù 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( bÎ)ur šc%Ÿ2 `ÏB ¤Qöqs% öNà6oY÷t/ OßgoY÷t/ur ×,»sVÏiB ×ptƒÏsù îpyJ¯=|¡B #n<Î) ¾Ï&Î#÷dr& ㍃̍øtrBur 7pt6s%u 7poYÏB÷sB ( `yJsù öN©9 ôÉftƒ ãP$uÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$# 3 šc%x.ur ª!$# $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ6ym ÇÒËÈ
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2.      Dalam Jarimah Ta’zir
Dalam jarimah ta’zir penerapam asas legalitasnya berbeda dengan jarimah hudud da qishash, ini disebabkan karena syari’at islam tidak menentukan secara tegas dan terperinci, baik jarimahnya maupun hukumannya.
Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir menjadi 3 bagian:
a.       Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat
Pengertian maksiat disini adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan (dilarang) oleh syara’ dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diwajibkan (diperintahkan) olehnya.[6]
Perbuatan-perbuatan maksiat ini dapat dibagi kepada tiga bagian:
a)      Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman had tetapi kadang-kadang ditambah dengan kifarat, seperti: pembunuhan, pencurian, minum-minuman keras dan sebagainya.
b)      Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman kifarat, tetapi tidak dikenakan hukuman had, seperti: menyetubuhi istri pada siang bulan ramadhan.
c)      Perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, seperti: mencium wanita yang bukan istri, percobaan pencurian, memakan bangkai atau darah, dan lain sebagainya.
b.      Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemashlahatan umat
Syari’at islam membolehkan untuk menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan yang bukan maksiat yakni yang tidak ditegaskan larangannya, apabila hal itu dikehendaki oleh kemashlahatan atau kepantingan umum.
c.       Hukuman ta’zir atas pebuatan-perbuatan pelanggaran.
Pelanggaran adalah melakukan perbuatan yang makruh atau meninggalkan perbuatan yang mandub.
Para fuqoha berbeda pendapat mengenai penjatuhan hukuman ta’zir ini, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak. Bagi mereka yang tidak membolehkannya mengatakan bahwa hukuman itu dijatuhkan karena meninggalkan perinah (taklif), sedangkan dalam makruh atau mandub tidak ada perintah nelainkan hanya sebuah anjuran oleh karenanya siapapun yang mengerjakan atau meninggalkan kedua perbuatan tersebut, ia tidak layak dijatuhi hukuman.
Mereka yang membolehkan penjatuhan tersebut mengatakan bahwa mandub sebenarnya adalah perintah dan makruh adalah larangan, meskipun demikian, mengerjakan makruh dan meninggalkan mandub tidak disebut maksiat melainkan hanya disebut mukhalafah (pelanggaran). Untuk penjatuhan hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan, tetapi apabila perbuatan itu mengganggu kepentingan umum maka pelaku dapat dikenakan hukuman tanpa berulang-ulangnya perbuatan.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qodir Audah, ‘At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al Araby, Beirut, t.t.
Ali, Zainuddin, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Ali, Zainuddin, Hukum Piddana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2006
Jalaluddin As-Sayuthi, Al Asybah wa An Nadzair Fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t. t.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Dep. Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab.


[1] Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Dep. Agama RI, Alqur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alqur’an, 1985)
[2] Zainuddin Ali, HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2006, hal. 47
[3] Abdul Qodir Audah, ‘At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al Araby, Beirut, t.t, hal. 115   
[4] Jalaluddin As-Sayuthi, Al Asybah wa An Nadzair Fi Al Furu’, Dar Al Fikr, tanpa tahun, hal.43
[5] Abdul Qodir Audah, ‘At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al Araby, Beirut, t.t, hal.116
[6] Abdul Qodir Audah, ‘At Tasyri’ Al jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab Al Araby, Beirut, t.t, hal.128

2 komentar:

  1. Terima kasih postingannya, sangat membantu saya dalam menyelesaikan tugas fikih Jinayah

    BalasHapus